AYAHKU MENGHAMILIKU

Aus HS Syswiki
Version vom 22. September 2024, 12:09 Uhr von NigelDks4152485 (Diskussion | Beiträge)

(Unterschied) ← Nächstältere Version | Aktuelle Version (Unterschied) | Nächstjüngere Version → (Unterschied)
Wechseln zu: Navigation, Suche

Sebut saja saya Mar, wanita berumur 18tahun, telah menikah serta tengah hamil 8bulan. Saya berani bercerita kisahku sesudah Sam (60), bapak kandungku diamankan polisi lima Bulan lantas, sesudah sempat digebuki Mas Hamdi (25), suamiku.

Sebagai wanita yang tumbuh di tengah keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku terbiasa hidup dan kerja keras meringankan orang tuaku yang Nelayan Kampung kami di pulau L agak jauh dari kota dan seperti terisolir membuat tatanan kehidupan bermasyarakat disana kurang terbuka, aku pun tumbuh jadi gadis kurang pergaulan.

Sejak berusia 11 Th ayah dan ibuku bercerai. Ibu kawin lagi dengan lelaki idamannya mengambil Fery, adikku. Mereka pun tinggal di kota, dirumah barunya. Sejak itu pula aku hidup bersama ayahku dirumah kami dikampung itu, karena Anto dan Santi, ke-2 kakaku sudah merantau kepulau sebrang.

kehidupanku bersama ayah berlangsung Tidak tersendat Untuk makan sehari-hari ayah masih sanggup mencari nafkah sebagai Nelayan sedangkan aku turut menunjang bibi berjualan dipasar, Hingga aku menginjak usia 17 th dan tumbuh jadi gadis yang kata warga kampungku aku cukup cantik. Diusia itu aku disunting Mas Hamdi, anak lelaki bibiku.

Kamu sudah dewasa nak, setelah menikah kelak jadilah istri yang patuh kepada suami, Ayah harap anda tidak seperti ibumu yang tergiur kekayaan lelaki lain sehingga anda menderita."Kata ayah setelah menerima pinangan bibi, orang tua Hamdi.

Pesta pernikahan yang cukup mewah buat ukuran kami tak membuat aku bergembira karena pikiranku tertuju iba pada ayahku yang nantinya bakal sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku pun sangat mencintai Mas Hamdi, suamiku.

Dimalam perdana kami, aku Memang lah bahagia bersama Mas Hamdi. Tengah malam itulah kuserahkan seluruhnya yang kumiliki padanya, sangat berkesan bagiku.

"Aku sayang kamu Mar… aku Memang bahagia Mas Hamdi mengecup keningku saat kami dipembaringan, usai pesta kawin kami tengah malam itu.
"Aku juga Mas…" Jawabanku tulus dan kami pun berpelukan erat.

Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus turun ke pipi, hidung, dan kemudian Mas Hamdi mengecup bibirku dan mengulumnya dalam, tangannya mulai melucuti kebaya putih kukenakan, menyabak BRA yang kupakai, lalu menyentuh puting susuku, meremas dan mencubit kecil susuku.

"Aouhhhh mass, geli mas," terus jelas baru sekali aku dijamah lelaki, perasaanku bukan bermain takut bercampur enak.

Mas Hamdi tak peduli, bagaikan singa lapar ia selanjutnya melucuti seluruh kain yang melilit badan bawahku dan juga melepaskan pakaiannya.

Kalem ya sayang, fraud sakit sedikit kok…nanti juga enak." Kata itu keluar dari bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
"Aahhh mass, sakit sekali Mas," aku agak menjerit saat benda tumpul milik Mas Hamdi mengoyak vaginaku.

Malam pertama itu Mas Hamdi menyetubuhiku dengan beringas, dan tak memberiku kesempatan untuk mencapai klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir mungkin itulah gaya sexs laki laki pesisir yang terbiasa hidup keras sebagai nelayan.

Meskipun aku bahagia hidup bersama suamiku, tapi rasa Bhakti pada ayah tak pernah kusingkirkan. Meskipun kami hidup beda Hunian dengan jarak 200 meter. Tapi tidak jarang kali kubawakan ayah makanan dan minuman, kebanyakan tiga hari sekali. Lebih-lebih Mas Hamdi pun menyuruhku untuk tetap memperhatikan ayahku yang mulia dan jarang melaut lagi. Tapi selama itu segala sesuatunya masih terjadi lancar.

Hingga satu buah siang, empat bln setelah aku menikah, aku membawakan makanan dan minuman kerumah ayah yang letaknya agak terpisah dari hunian lainnya dikampung kami. Saat itu aku sudah hamil dua bulan.

"ini yah, saya bawakan sayur dan ikan, Ayah nggak usah masak lagi buat nanti tengah malam tinggal dihangatkan saja." kataku setiba dirumah ayah.
"Duh… makasih ya sayang. Anda ini Benar-benar anak Berbakti." kata ayah seraya menghampiri dan mengecup keningku.

Kupikir kecupan itu pertanda sayang seperti yang selama ini diperbuat padaku, kubiarkan saja itu dan setelah itu aku ke dapur untuk memindahkan makanan dari rantang yang kubawa kepiring dapur. Ayah rupanya membuntuttiku dan ikut kedapur, lalu ketika tanganku sibuk menyusun piring dimeja makan, ayah memelukku dari belakang.

Anda sudah hamil ya sayang," tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari belakang.
"Iya yah, sebentar lagi saya dapat kasih ayah cucu," jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyangiku.
Kalau mulai hamil, perutmu harus sering diusap dan dipijit pelan biar bayinya nggak turun," ayah berbicara itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan buat ayah.
"Si Hamdi tidak jarang mijitin anda nggak sayang," ayahku bertanya lagi.
"Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang harus mijitin dia?" kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.

Siang itu, seperti kebanyakan sebelum pulang aku sempatkan untuk ngobrol bersama ayahku. Tidak hanya mananyakan kebutuhan apa saja yang mesti kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah tentang sikap mertuaku, Ibu Mas Hamdi yang sampi saat itu belum bisa kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru membicarakan masalah kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk masalah harus rajin diusap dan dipijat perutku.

"Nah…suamimu kan kelak malam melaut, anda datang kemari saja supaya ayah bisa pijitin ya," begitu pinta ayah sebelum aku pulang.

Akupun mengiyakan saja, soalnya biasanya Mas Hamdi pulangnya agak siang setelah melaut. Lagipula, dirumah mertua aku tidak jarang binggung mau melakukan apa, maklum mertuaku belum sreg benar kepadaku kelihatannya.

Malam itu setelah Mas Hamdi pamit melaut, aku langsung kerumah ayah. Tentu saja aku pamit ke mertua buat menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok tembakau lintingan diruang tamu.

Malam yah.. kok ngelamun sih?" sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
"Iya sayang.. ayah lagi ingat masa muda Dahulu ayahku tetap asyik dengan rokok lintingannya. Dan bibirnya serta-merta meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah tidak jarang diceritakan pada kami, anak-anaknya.
"Tuh kan ayah jadi Cerita jadi nggak nih mijitin saya? jelasnya sayang sama cucu yang masih diperut ini?" aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang hidupnya.
"iya…iyaaa. tapi sekarang kamu mandi dahulu sana," perintah ayahku.

Aku langsung mandi dan terus kekamar ayahku. Saat itu seluruh pakaianku kutinggalkan dan hanya memakai kain sarung milik ayah buat menutup tubuhku. Rata rata dikampung ini melilit badan dengan sarung sudah jadi rutinitas tiap wanitanya.

"Sekarang berbaring diranjang itu ya sayang, ayah ambilkan minyak kelapa dulu,"ayahku memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun menunggunya sambil berbaring diranjang. Tak lama kemudian ayah datang mengambil sebotol kecil minyak kelapa.
Memang susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya," ayahku berbicara sendiri disaat duduk ditepi ranjang.
"iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah," Kataku.

Tangan ayah segera menyibak kain yang kukenakan dibagian atas, sehingga susuku tanpa pembungkus bebeas Nampak Tetapi aku sama sekali tak risih karena sejak kecil sampai gadis pun aku sering dilihat mandi telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya memijit bagian perutku.

"Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, anda sering merasa sakit ya?" ayah bertanya sambil tangannya terus memijit perutku.
"He-eh yah… sering capek juga kakinya," jawabku menikmati pijitan ayah.
"Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh badanmu ya," ayah menyampaikan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.

Sambil dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai masalah harga ikan yang sedang turun, samapi masalah masa lalu ayah dengann ibuku.

Anda sudah hamil ya sayang," tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari belakang.
"Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih ayah cucu," jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyangiku.
Jika mulai hamil, perutmu mesti tidak jarang diusap dan dipijit pelan biar bayinya nggak turun," ayah berkata itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan buat ayah.
"Si Hamdi sering mijitin kamu nggak sayang," ayahku bertanya lagi.
"Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang harus mijitin dia?" kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.

Siang itu, seperti kebanyakan sebelum pulang aku sempatkan untuk ngobrol bersama ayahku. Selain mananyakan kebutuhan apa saja yang harus kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah tentang sikap mertuaku, Ibu Mas Hamdi yang sampi saat itu belum bisa kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru membicarakan masalah kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk masalah harus rajin diusap dan dipijat perutku.

"Nah…suamimu kan kelak tengah malam melaut, anda datang kemari saja agar ayah bisa pijitin ya," begitu pinta ayah sebelum aku pulang.

Akupun mengiyakan saja, soalnya kebanyakan Mas Hamdi pulangnya agak siang setelah melaut. Lagipula, dirumah mertua aku tidak jarang binggung mau melakukan apa, maklum mertuaku belum sreg benar kepadaku kelihatannya.

Tengah malam itu setelah Mas Hamdi pamit melaut, aku langsung kerumah ayah. Tentu saja aku pamit ke mertua utk menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok tembakau lintingan diruang tamu.

Malam yah.. kok ngelamun sih?" sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
"Iya sayang.. ayah lagi ingat masa muda Dulu ayahku tetap asyik dengan rokok lintingannya. Dan bibirnya serentak meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah tidak jarang diceritakan pada kami, anak-anaknya.
"Tuh kan ayah jadi Cerita jadi nggak nih mijitin saya? menurutnya sayang sama cucu yang masih diperut ini?" aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang hidupnya.
"iya…iyaaa. tapi sekarang kamu mandi dulu sana," perintah ayahku.

Aku langsung mandi dan terus kekamar ayahku. Saat itu seluruh pakaianku kutinggalkan dan hanya memanfaatkan kain sarung milik ayah utk menutup tubuhku. Rata rata dikampung ini melilit badan dengan sarung sudah jadi etika tiap wanitanya.

"Sekarang berbaring diranjang itu ya sayang, ayah ambilkan minyak kelapa dulu,"ayahku memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun menunggunya sambil berbaring diranjang. Tak lama selanjutnya ayah datang mengambil sebotol kecil minyak kelapa.
Memang susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya," ayahku berbicara sendiri diwaktu duduk ditepi ranjang.
"iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah," Kataku.

Tangan ayah serentak menyibak kain yang kukenakan dibagian atas, sehingga susuku tanpa pembungkus bebeas Terlihat Namun aku sama sekali tak risih karena sejak kecil sampai perawan pun aku sering dipandang mandi telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya memijit bagian perutku.

"Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, kamu tidak jarang merasa sakit ya?" ayah tanya sambil tangannya terus memijit perutku.
"He-eh yah… sering capek juga kakinya," jawabku menikmati pijitan ayah.
"Ya sudah, kelak ayah pijitin seluruh badanmu ya," ayah mengatakan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.

Sambil dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai masalah harga ikan yang sedang turun, samapi masalah masa lalu ayah dengann ibuku.

"Ihh….mmpphh yeaahh, aauhh hhsstt.." aku tak kuasa menahan rasa nikmat dijilati ayah, terus jelas sejak kawin dengan Mas Hamdi belum sempat aku diperlakukan seperti itu. Mas Hamdi senantiasa main langsung tembak, tanpa rangsangan lebih dulu sehingga selama ini aku sendiri belum pernah merasakan apa yang dinamakan kenikmatan orgasme. jilatan ayah mulai meningkat, kini lidahnya justru tidak jarang menelusup belahan bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan bening kental dari vaginaku diseruput ayah seperti menyeruput kopi hangat dari gelasnya.

"Ngghhsstt…yah…Mar nggak bisa nahan…Ouhh.." Aku mulai menggelinjang tak menentu rasanya.

Tetapi kala aku mulai melambung tinggi, ayah menghentikan lagi aktifitasnya di vaginaku membuat aku menggelepar menahan birahiku sendiri.
"Mar… ayah agak sulit masukan air kembang itu ke rahimmu. Tahan sebentar lagi ya," Katanya.
"Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi, geli sekali yah," aku merasa semakin lemas karena birahiku dipermainkan seperti itu.

Saat itu berhayal jika Mas Hamdi ada tentu dialah yang dapat memuaskanku dengan penisnya, karena aku merasa sudah siap betul dan ingin sekali untuk disetubuhi lelaki. Tapi pikiran itu aku tepis, karena bukankan ayah yang sedang mengobati kandunganku? Aku tak berpikir bahwa ayah pun terangsang saat itu.

Tapi tak lama setelah itu kurasakan nafas ayah kembali mendekati vaginaku, setelah meneguk air kembang yang nyaris habis dibaskom. Ayah tidak lagi menyemburkan air itu. kurasakan falsafah air itu masuk hingga ke dinding rahimku, rasanya sama seperti saat Mas Hamdi menumpahkan spermanya dikala kami bersenggama, Setelah itu bibir ayah melumati bibir vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan vaginaku membuat nikmat yang sangat dibagian sensitif itu, aku Memang lah kepayang dibuat ayah. kini jemari tangan ayah turut menyibaki vaginaku, membukanya lebar dan lidahnya menyapi klitorisku dari atas kebawah dan sebaliknya dari bawah ke atas.

"Ouhh…yah….sudahh yahhh, Mar mau kencing rasanya ah…" seluruh sendiku terasa ngilu dan mengembang bersama kedutan dinding vaginaku, aku hampir sampai puncak orgasmeku
"Iya sayang, sudah selesai kok," lagi-lagi ayah menghentikan aktifitasnya, tapi saat kubuka mata nyata-nyatanya kali ini badan ayah sudah berada diatas tubuhku dengan bertopang pada dua tangannya.
"Yah…kok ayah begitu? Ouhh yahh..aahh," belum habis kagetku karena ayah menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke vaginaku.

Ternyata ayah sudah melepaskan celananya dan penisnya yang tegang dimasukan ke vaginaku. Aku hendak berontak karena hal itu tabu di kampungku dan dimanapun, bukankah satu orang ayah tak boleh melakukan itu pada anak perempuannya. perang bathin kualami saat itu, aku ingin mendorong badan kekar tapi aku sudah sangat lemas saat itu. Sementara dorongan birahiku ingin serentak terpuaskan dengan senggama bersama lelaki.

"Oohhgg, Mar… anggap saja ayah Hamdi Mar… ouhh ayah nggak tahan," ayah tetap menindihku dan kini pinggulnya mulai naik turun di atas tubuhku membuat penisnya bebeas ke luar masuk diliang nikmatku yang sudah licin dan becek ileh cairanku sendiri.
"Nghhg…aahssstt. yahh.." aku tak kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai mengobati rasa gatal di vaginaku.

Dengan mata terpejam aku malah ikut menyongsong goyang ayah dengan pinggulku. merasa aku tak melawan, ayah pun semakin liar menyutubuhiku, anak kandungnya. Kini sambil menggenjotku, bibir ayah menjalar menghisapi puting susuku, sehingga senggama kami sempurna dan kenikmatan yang kurasakan pun semakin tak tertara bila dibanding senggamaku bersama suami.

Sekalipun usia ayah sudah kepala enam, tatapi kondisi fisiknya masih kuat dan kurasakan penisnya pun masih normal dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari punya Mas Hamdi.

"yah…Mar mau kencing yah uuh sstt,"

Sepuluh menit berlalu dalam senggama, kurasakan kenikmatan mulai mengumpul di pangkal pahaku, bongkahan pantatku, ujung-ujung jari kakiku, dan juga di liang nikmatku, kedutan semakin terasa didinding vaginaku, dan hasilnya kurasakan kejang dibagian pinggul sampai kakiku, kakiku kemudian kugunakan buat menjepit pinggul ayah dan menekannya biar lebih dalah penisnya bersarang di vaginaku. Tanganku memeluk tubuh berkeringat ayah, sementara kepalaku terangkat dengan bibir menyedok kulit dada ayah. Dalam kondisiku yang puncak itu, ayahpun mengejang dan mengerang di atas tubuhku.

"Ahhgg Mar….Ngghh," ayah lalu lunglai dan berbaring disampingku yang juga lemas tak bertenaga. Tulangku seakan dicopoti saat itu, namun kuaki itulah kali perdana aku kepuncak nikmatnya senggama.

Malam itu aku tidur bersama ayahku dirumahnya, dan paginya kami seperti melupakan kejadian itu. Akupun pulang kerumah mertua pagi harinya, dan bersikap seperti biasa saat Mas Hamdi pulang melaut.

Kejadian pertama bersama ayah, membuat aku agak malu utk datang kerumah ayah lagi.
Sudah dua pekan ini aku tidak menjenguk atau mengantarkan makanan utk ayah. Entahlah,



meski sebenarnya aku tak keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah, namun aku malu kalau
disangka ayah ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut seperti biasa ia meminta jatah dilayani kebutuhan
biologisnya. Sebagai istri kulayani suamiku semaksimal mungkin. Tapi seperti biasa juga, Mas
Hamdi hanya memikirkan kepuasannya saja, dan sudah mengejang menyemprotkan air
maninya sebelum aku merasa terangsang, lebih-lebih orgasme.
"Mhh, aku sayang anda Mar.." Mas Hamdi selalu menyampaikan itu sambil mengecup keningku
setiap kali usai menikmati klimaks diatas tubuhku, lalu ia mengenakan kembali pakaiannya dan
meninggalkanku sendiri dikamar, ia pun melaut bersama teman-temannya.
"Hati-hati Mas..," hanya itu yang kuucapkan melepas bertolak suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa mengenakan kembali pakaianku, rasa kecewa terhadap
suamiku tumpah lewat air bening yang meluncur ditepian mataku. Aku merasa tersiksa dua
pekan ini tiap-tiap kali berhubungan intim dengan suamiku, tersiksa karena tak mendapatkan
nikmat yang maksimal seperti yang kudapat dari ayahku. Setelah suamiku menhilang dibalik
pintu, aku bangkit dan mengunci kembali pintu kamar. Kembali berbaring diranjang tanpa
busana, aku menghayalkan kenangan nikmat bersama ayah. Tak terasa tanganku mulai
meremasi payudara sendiri, sambil membayangkan ada lelaki yang sedang mencumbuiku, aku
pun menjelajahi bagian tubuh sensitifku sendiri. Tengah malam itu aku mencapai orgasmeku dengan
masturbasi sambil menghayalkan ayahku, lalu tertidur pulas.
Esoknya, pagi-pagi benar sebelum Mas Hamdi pulang melaut, aku menyiapkan makanan untuk
kubawa kerumah ayah. Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah pagi itu.
"Eh kamu Mar.. ayah kira siapa," kata ayah menyambut ketukan pintuku.
"Iya nih yah, bawakan ayah makanan," aku menjawab tanpa mampu menatap mata ayah, aku
malu dan jadi canggung pada ayahku sendiri.
Ayah kemudian menyuruhku masuk, dan seperti rata-rata aku langsung kedapur untuk
memindahkan makanan dirantang yang kubawa kepiring di dapur hunian ayahku.
Dengan cara apa sayang, sudah nggak sakit lagi perutmu?" nada ayah menyapaku, dan aku agak
terkejut ketika ayah tiba-tiba sudah mendekap tubuhku dari belakang sambil tangannya
mengusapi perutku yang nampak sedikit membuncit dengan usia kehamilan 3 bulan.
"Eh ayah.. Mar sampai kaget. Kadang-kadang masih tuh yah, tapi agak membaik kok setelah
dipijit ayah waktu itu," aku bingung mesti menjawab apa saat itu.
Bagaimanakah kalau ayah pijit lagi? biar nggak sakit-sakitan perutmu itu," nafas ayah tepat
menghembusi tengkukku, membuat aku menahan geli dan merinding.
Sebelum aku menjawab, tangan ayah kurasakan membelai bongkahan pantatku dan mulai
menyingkap naik bagian bawah daster yang kupakai pagi itu.

"Enghh ayah.. janganlah lagi ah," aku berikhtiar menepis tangan ayah dan kembali meneruskan
kegiatanku merapikan piring di meja dapur ayah. Tapi tangan ayah seperti tak mau Pergi dari
belakang itu ayah malah memasukan tangannya kebalik dasterku dan mengusapi bongkahan
pantatku, sesekali meremasinya.
"Ya sudah, jika nggak mau dipijitin dikamar, ayah pijitin disini saja ya. Kamu kan bisa sambil
rapikan piring itu," ayah semakin berani menyusupkan tangannya kebalik CD ku, sehingga kini
tangan kasarnya mengusapi pantatku tanpa penghalang. Saat tangan ayah langusng
menyentuh kulit pantatku dengan cara langsung, aku merasakan desiran aneh yang kemudian
memacu libidoku.


Kucoba menahan desiran itu dan tetap merapikan makanan diatas meja dapur, tapi aku tak
lagi menepis aktifitas ayah, aku membiarkan ayah berbuat semaunya.
"Asshtt yah.. janganhh geli yah," aku menggelinjang saat bibir ayah mengecup tengkukku, tapi
aku tak mampu menghindarinya.
Anda merunduk diatas meja ya sayang, santai saja.. supaya perutmu cepat sembuh, ayah
pijitin sambil berdiri ya," ayah menekan bahuku dari belakang maka posisi tubuhku
merunduk dengan ke-2 tangan membantu dibibir meja.
Penasaran juga apa yang dapat ayah lakukan, aku pun tak bisa menjawab tidak hanya mengikuti
perintah ayah itu. Kini tugas merapikan piring sudah tidak ada lagi, yang ada aku merunduk
pasrah di meja itu, menunggu apa yang bakal ayah lakukan Setelah itu

Meine Werkzeuge
Namensräume

Varianten
Aktionen
Navigation
Werkzeuge